Gesang Martohartono dilahirkan pada tanggal 1 Oktober 1917 di kampung Singosaren dekat Pasar Pon di kota Solo. Ayahnya bernama Martodiharjo dan ibunya bernama Soemidah. Gesang adalah anak nomor 5 dari 10 orang bersaudara. Dulu ayahnya adalah seorang pengusaha batik di kota Solo. Pada waktu itu keluarganya tergolong berada juga. Namun dalam perjalanan selanjutnya, perusahaan batik milik Martodiharjo mengalami masa surut (Utomo, 1986 : 15).
Dalam artikel di sebuah situs di internet yang merupakan hasil wawancara dengan Gesang disebutkan (Catatan untuk Sang Maestro, http://kelana-tambora.blogspot.com/2007/08/catatan-untuk-sang-maestro.html, Last update 28 Agustus 2007, di akses pada tanggal 20 April 2008), Gesang adalah seorang tamatan sekolah Ongko loro kelas 5 di kota Solo. Semasa kecilnya Gesang memiliki nama Soetadi. Karena sering mengalami sakit-sakitan di masa kecilnya, kemudian ayahnya mengganti nama Sutadi dengan nama Gesang Martohartono. Sebagian dari masyarakat Jawa memang percaya, khususnya pada waktu itu bahwa penggantian nama pada seorang anak yang sering mengalami kemalangan atau sakit-sakitan akan bisa membawa kepada keadaan yang lebih baik. Gesang memiliki sebuah arti, yaitu hidup.
Kisah hidup Gesang yang semasa kecilnya berada di lingkungan juragan batik Kampung Kemlayan, memang hampir selalu didera penyakit panas menggigil yang nyaris merenggut jiwanya. Namun di usianya yang kian renta dan sering sakit-sakitan seperti sekarang ini. Jiwa seni Gesang tetap seperti semasa mudanya. Kendati gerakan seniman tua itu kini juga semakin lamban, tetapi dia masih cukup
bersemangat jika diundang ke pentas musik keroncong.
Martodiharjo dan Soemidah memiliki anak-anak yang cukup berbakat dalam bidangnya masing-masing. Selain Gesang yang berbakat dalam bidang seni musik, kakak laki-lakinya yang bernama Yazid, mempunyai kegemaran dalam bermain sepak bola. Yazid pernah tergabung dengan kesebelasan kebanggaan masyarakat Solo pada waktu itu, yaitu PERSIS (Persatuan Sepak Bola Indonesia Solo). Yazid juga pernah terpilih sebagai pemain kiri luar tim nasional Indonesia (PSSI) bermain seangkatan dengan penjaga gawang PSSI, Maladi.
Martodiharjo sebenarnya adalah pengusaha batik asal Boyolali. Anak-anaknya sejak kecil dipersiapkan untuk dididik untuk juga menjadi pengusaha batik. Gesang dan saudara-saudaranya harus belajar batik dan mengerti seluk-beluk tentang dunia batik. Selain harus belajar tentang batik, Martodiharjo juga memberi kesempatan kepada anak-anaknya untuk mengenyam pendidikan sekolah.
Pada tahun 1922, Soemidah istri Martodiharjo meninggal dunia. Dua tahun kemudian Martodiharjo menikah dengan Soemirah. Soemirah inilah yang kemudian yang juga mebantu Martodiharjo dalam menjalankan usaha batiknya. Dari pekawinannya dengan Soemirah melahirkan enam orang anak yaitu, Ingram, Dahlan, Nurrohma, Rokayah, Thoyib dan Nurjanah. Soemirah memiliki ketekunan dan keuletan seperti halnya Soemidah. Kekaguman Gesang terhadap ketekunan dan keuletan Soemirah membuat Gesang tidak enggan untuk menganggapnya sebagai ibu kandungnya sendiri. Peran Soemirah terhadap anak-anak Martodiharjo sangat besar. Soemirah pulalah yang sering mendidik dan menasehati Gesang dalam berbagai hal. Termasuk dalam bidang seni, atas pujian-pujian yang dilakukan oleh Soemirah terhadap suara Gesang ketika menyayi, membuat Gesang merasa bersemangat untuk terus belajar bernyanyi.
Darah seni yang mengalir di tubuh Gesang, sudah lama ada sejak masa kanak-anaknya. Bahkan, ketika anak-anak sebayanya termasuk kakak kandungnya yang dipanggil Mas Yazid menggemari olah raga keras seperti sepak bola, Gesang kecil lebih senang bersenandung, yang dalam bahasa Jawa disebut rengeng-rengeng. Dari kebiasaan rengeng-rengeng sambil berimajinasi itulah, pada gilirannya Gesang melahirkan karya karya lagu berirama keroncong yang liriknya sederhana tetapi mengena.
Semasa mudanya Gesang memang sangat menggemari olahraga. Seperti layaknya para pemuda ada umumnya, dia berusaha untuk mencari pengalaman sebanyak mungkin. Gesang menekuni bidang yang disukainya yaitu kesenian dan olahraga. Semasa mudanya memang Gesang menekuni olahraga dan kesenian, namun seiring waktu dia lebih tertarik pada dunia kesenian.
Menurut cerita Bapak Gesang, pada waktu muda dulu ia juga mengalami perasaan jatuh cinta seperti umumnya pemuda-pemuda yang lain. Dari kisah asmaranya itu pula yang kemudian juga mempengaruhi beberapa lagu yang di ciptakannya. Dari pengalaman-pengalaman hidup yang dia jalani, seringkali memberikan inspirasi bagi Gesang dalam menciptakan karya-karya lagunya.(Wawancara penulis dengan Gesang, 18 Maret 2008).
Usianya yang terus bertambah membuat Gesang semakin menyadari untuk segera memilih jodoh, karena secara kodrat ia membutuhkan seorang teman wanita untuk berbagi kasih. Pada bulan Agustus tahun 1941 akhirnya Gesang menikahi Walinah. Tuntutan sebagai orang Jawa pada zaman dahulu setelah menikah adalah harus memiliki nama tua. Nama tersebut digunakan sebagai simbol untuk menjalani kehidupan yang lebih lanjut sebagai oarang yang yang sudah berumur. Namanya kemudian menjadi Gesang Martohartono. Nama Marto diambil untuk menghormati ayahnya, sedangkan nama Hartono adalah nama mertuanya. Kelurga Gesang Martohartono kemudian tinggal di rumah pemberian orang tua di Jalan Tagore 67, Kampung Munggung Surakarta.
Rumah tersebut kemudian ia gunakan untuk membuat usaha bersama istrinya. Rumah tersebut digunakan untuk menjual bahan-bahan kebutuhan pokok dan sekaligus sebagai tempat untuk menjual batik. Sambil menjalankan usahanya Gesang tetap sesekali melakukan kegiatan seninya, yaitu bernyanyi keroncong. Ia juga masih sering memenuhi tanggapan bernyanyi keroncong di berbagai tempat di kota Solo, dan ia juga mendapatkan uang dari kegiatan bernyanyinya tersebut. Panggilan jiwanya untuk terus berkegiatan seni keroncong membuat ia semakin sering bernyanyi dan mengikuti berbagai macam acara pentas musik keroncong. Usaha dagangnya pun akhirnya diserahkan sepenuhnya kepada istrinya, Walinah. Usaha dagang yang di jalankan oleh istrinya pada awalnya berjalan dengan baik, tapi lama- kelamaan mengalami kebangkrutan karena terlilit hutang. Hutang yang tidak mampu dibayar itu membuat rumahnya di jalan Tagore 67 tersebut harus digadaikan untuk melunasi hutang-hutangnya.
Berbagai permasalahan yang mendera rumah tangga Gesang membuat Walinah meminta cerai. Perkawinan tanpa anak tersebut akhirnya mengalami perceraian setelah dua puluh dua tahun lamanya. Setelah peristiwa itu Gesang hdup dalam keadaan yang tidak menentu, berpindah-pindah tempat mencari tumpangan. Akhirnya Gesang bertemu dengan Ngainah, bekas pembantu ayahnya dulu. Ngainah tersebut memberikan tawaran kepada Gesang untuk tinggal di rumahnya di kampung yang sama, Munggung. Gesang kemudian menerima tawaran itu dan hampir selama tujuh belas tahun Gesang menumpang di tempat tinggal kontrakan Ngainah yang sederhana.
Seorang mantan pilot yag pernah bertugas di Indonesia pada tahun 1942-1945, merasa terketuk hatinya ketika mengetahui pencipta lagu ’Bengawan Solo’ yang terkenal pula di Jepang itu hidupnya mengalami kemiskinan. Ia berkunjung bersama kru Stasiun Televisi Jepang (NHK) ke tempat tinggalnya di Munggung, sekaligus mengadakan wawancara dan pengambilan Gambar untuk sebuah acara pada Stasiun Televisi tersebut. Mitsuo Hirano kemudian membentuk Yayasan Dana Gesang di Jepang yang bertujuan untuk memperbaiki taraf hidup Gesang. Hal ini mengundang banyak simpati dari berbagai kalangan. Adapun simpati dari berbagai kalangan tersebut antara lain :
1. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Jawa Tengah pada waktu itu, Bapak Soepardjo Roestam, sehingga memberikan hadiah sebuah rumah di Jalan Nusa Indah Perumahan Nasional Palur.
2. Aneka Ria Srimulat dan Wayang Orang Sri Pandowo mengadakan pentas amal untuk menghimpun dana untuk Gesang. Pentas itu juga mengangkat kembali nama Gesang di Tanah Air.
3. Pra produser rekaman kembali meminta izin kepada Gesang untuk kembali merekam lagu-lagu Gesang dan mengajakan untuk rekaman serta membayar royalti atas karya-karya yang digunakan.
4. Pada Bulan Februari tahun 1980 Gesang diundang ke Jepang untuk meresmikan berdirinya Yayasan Dana Gesang atau sering juga disebut Yayasan Peduli Gesang.
Kini setiap hari ulang tahun Gesang, selalu diperingati oleh gabungan dari anggota keluarga Gesang dan Yayasan Peduli Gesang (YPG) dari Jepang. YGP semula merupakan wadah sejumlah warga Jepang yang memiliki penghormatan khusus pada Gesang, dan mereka menghimpun dana untuk membantu kehidupan Gesang. Sebagian dari mereka adalah orang Jepang yang berusia di atas 80 tahun, karena pada masa perang dahulu sudah mengagumi Lagu Bengawan Solo.
Dari beberapa kali wawancara langsung yang dilakukan penulis kepada Bapak Gesang, dapat terlihat bahwa ia adalah seorang yang rendah hati, sopan, sederhana, memiliki tutur kata yang baik dan sangat menghormati orang lain. Kini di usianya yang telah tua Gesang menghabiskan waktunya berada di rumahnya, di kampung Kemlayan Solo. Ia banyak beristirahat karena usianya yang telah tua, menginjak 90 tahun. Di sela-sela waktu istirahatnya ia masih sering menjamu berbagai kunjungan yang ada. Di mulai dari kunjungan para penggemarnya, kaum selebritis, pejabat, politisi, wartawan, warga asing atau kunjungan dari orang-orang yang ingin bertemu dengannya.
2. Kehidupan Sosial
Selain sebagai seorang seniman musik keroncong, Gesang juga memiliki keseharian seperti orang-orang pada umumnya. Bermasyarakat, bergaul dengan tetangga, juga ikut terjun dalam aktivitas-aktivitas sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Semenjak masa mudanya Gesang berusaha untuk bergaul dengan siapa dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya. Itu dibuktikannya dengan bergabung dengan perkumpulan MARKO kependekan dari Mardi Agawe Rukun Kesenian lan Olahraga.
Selain melalui musik keroncong, Gesang juga bergaul dengan masyarakat melalui olahraga. Gesang menyukai olahraga bulutangkis dan sepak bola. Tetapi untuk terjun langsung ke dalam bidang olah raga, Gesang lebih memilih bulutangkis sebagai olah raganya sehari-hari. Olahraga bulutangkis ini masih sering dilakukan Gesang sampai tahun 1990-an.
Gesang termasuk seorang seniman yang peduli pada lingkungan sosial juga peduli pada keadaan bangsa dan negara. Pada zaman revolusi tahun 1945-1949, Gesang ikut terjun ke dalam Palang Merah Indonesia (PMI) cabang Surakarta (Solo). Gesang juga sempat ikut berjuang di daerah gerilya untuk menolong para penderita yang luka-luka kena tembakan dan lain sebagainya. Dia ikut ke daerah pedalaman dan gunung-gunung bersama anggota PMI yang lain.Gesang masih menyimpan tanda anggota Palang Merah Indonesia, beberapa dokumentasi dan surat penting sebagai kenang-kenangan masa perjuangan dulu (Utomo, 1986 : 51).
Selain sebagai seorang penyanyi dan pencipta lagu, tentunya Gesang juga memiliki sisi lain seperti manusia pada umumnya yang selalu berhubungan dengan orang lain, berkomunikasi, bergaul, beraktikvitas dalam berbagai kegiatan sosial.
3. Karir Musik
Pada tahun 1935, Gesang menjadi pemuda yang sedang menginjak dewasa, kira-kira berumur 18 tahun. Setelah tamat sekolah ”Ongko Loro” kelas 5 di kota Solo, pada waktu itu tepatnya di kampung Singosaren ada kumpulan keroncong bernama Marko. Adapun nama Marko adalah singkatan dari dari kata-kata Marsudi agawe rukun kesenian lan Olah Raga, yang didirikan hanya untuk warga kampung Singosaren. Sebagaimana layaknya pemuda yang meningkat dewasa, Gesang ingin memperluas pergaulan dan pengalaman hidupnya dengan masuk ke Marko itu. Gesang ternyata lebih tertarik di bidang kesenian daripada bidang olah raga (Utomo, 1986 : 15).
Di dalam buku Gesang Tetap Gesang karangan T. Wedy Utomo (1986 : 17) disebutkan, di perkumpulan MARKO itu Gesang menjadi ”Sanger”. Sanger adalah istilah pada waktu itu untuk menyebut seorang penyanyi. Selain bernyayi, gesang juga bisa menciptakan lagu sendiri. Itulah yang menjadi kelebihan Gesang dibandingkan dengan teman-teman seangkatannya dulu. Dia dapat menciptakan lagu, juga dapat sebagai penyanyinya sekaligus. Lagu-lagunya pada waktu itu menjadi populer, karena nama Gesang sendiri pada waktu itu juga sedang populer di kota Solo. Pada waktu itu gesang memiliki kelebihan yang rangkap yaitu sebagai penyanyi dan pencipta lagu.
Ketika awal mula Gesang bergabung di perkumpulan MARKO, ia selalu belajar sendiri lagu-lagu keroncong lama dari teman-temannya yang telah menjadi penyayi terlebih dahulu. Menurut Gesang, pada waktu itu tidak terlalu sukar untuk mempelajari lagu-lagu keroncong kuno itu, karena iramanya masih sederhana sehingga mudah diingat serta dihafalkan (Utomo, 1986 : 17).
Menurut penuturan Pak Gesang, sebenarnya pada awal mulanya di perkumpulan MARKO ia pernah menjadi penyaji gitar, namun pemipinan dan teman-teman orkes menganjurkan supaya menjadi penyanyi. Mereka mengetahui kalau Dirinya menyukai menyanyi dan mempunyai dasar suara yang bagus. Setelah itu sambil berjalannya waktu ia belajar teknik bernyanyi sedikit demi sedikit, sehingga suaranya semakin membaik dan perbendaharaan lagunya semakin banyak.
Imbalan menyanyi pertama yang diterima Gesang adalah setali atau 25 (dua puluh lima) sen. Penghasilan itu sebagian besar digunakan untuk membeli alat-alat musik keroncong. Seringkali pula ia sumbangkan kepada perkumpulan keroncong yang diikuti. Gesang gemar membeli alat-alat musik, tetapi tidak untuk digunakan sendiri melainkan untuk kepentingan kelompok keroncongnya. Alat-alat musik itu biasanya justru digunakan oleh teman-teman musisi yang lebih mahir.
Bersama MARKO Gesang kemudian tampil di berbagai pentas. Seiring ketenaran Gesang bersama orkes keroncong MARKO, kemudian sebuah radio pemerintah Belanda yang berdiri pada tahun 1 April 1933 bernama Soloische Radio Vereegining (SRV) memberinya kesempatan siaran. Pada waktu itu bisa terpilih untuk menjadi pengisi acara di radio tersebut merupakan kesempatan yang yang sangat diharapkan oleh para pelaku seni keroncong di kota Solo. Untuk bisa mengisi di acara tersebut harus memenuhi persyaratan mutu tertentu, dan MARKO mampu mendapatkan kesempatan itu. Setelah berulang kali mengisi acara siaran di SRV, orkes keroncong lama-kelamaan berhenti atau bubar dikarenakan sesuatu hal.
Setelah berakhirnya kegiatan MARKO, tidak menghentikan karir musik keroncong Gesang. Ia kemudian bergabung dengan Orkes Keroncong “Kembang Kacang”. Bersama orkes tersebut kemampuan bernyanyi Gesang semakin terasah dan terus meningkat, karena orkes tersebut mempunyai pengasuh dan pemain yang lebih profesional.
Pada tanggal 11 September 1945 Soloische Radio Vereeneging diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia menjadi Radio Republik Indonesia (RRI). Salah satu orkes musik pendukung siaran di studio RRI adalah bagian Orkes Keroncong asli yang disebut Radio Orkes Surakarta (ROS). Radio Orkes Surakarta tersebut berdiri pada tahun 1943. Di radio tersebut Gesang juga terpilih sebagai penyanyai pembantu siaran bersama dengan Ismanto, Waljinah, Waluyo, Samsidi, Maryati, Suprapti dan lain-lain. Gesang ikut terpilih karena kepopulerannya dalam menyanyikan lagu-lagu keroncong baik ciptaannya sendiri atau orang lain. Ketenarannya yang terus meningkat itu akhirnya menarik minat pimpinan orkes keroncong lain.
Suara dan ketenaran Gesang menarik berbagai minat Orkes keroncong lainnya untuk mengajaknya bernyanyi. Gesang kemudian menjadi penyanyi di berbagai orkes keroncong yang terkenal waktu itu seperti “Kembang Kacang”, “Sinar Bulan”, “Bunga Mawar”, “Monte carlo”, “Cempaka putih”, “Irama Sehat”, “Gema Puspita” dan lain-lain. Ketenaran dan suaranya juga mampu menarik minat produser rekaman utnuk ingin merekam suaranya. Studio rekaman yang pernah mengabadikan suara serta karya-karyanya antara lain Borobudur Recording, Kusuma Recording, Pusaka Record, Dasa Record, Lokananta Record, Musica Studio, dan PT. Gema Nada Pertiwi Recording. Rekaman itu kemudian menyebar luas ke seluruh Tanah Air dalam bentuk kaset, sehingga nama Gesang manjadi semakin terkenal.
Gesang seorang yang gigih dalam meraih cita-citanya. Dahulu ketika masih menjadi pemuda yang telah meyakini bahwa ia memiliki bakat seni, ia kemudian terus mengasah bakat bernyanyinya. Gesang adalah seorang otodidak, dalam hal bernyayi dan mencipta lagu ia selalu belajar sendiri. Ia selalu mengikuti perkembangan musik keroncong yang ada pada waktu itu. dalam Semenjak masa muda Gesang aktif mengikuti kontes-kontes menyanyi keroncong di kota Solo. Pada waktu masa mudanya Gesang sering mengikuti lomba menyanyi keroncong yang diadakan radio-radio, juga pergelaran-pergelaran musik keroncong yang ada di kota Solo. Gesang sadar bahwa ia harus mengikuti perlombaan seperti itu agar namanya dapat dikenal oleh orang lain, dan juga sebagai sebuah usaha untuk mewujudkan cita-citanya sebagai penyayi.
Gesang meniti karir musik keroncongnya dari bawah. Ia juga memulai karir bernyanyinya dari kampung ke kampung. Gesang seringkali bernyayi di dalam acara hajatan-hajatan pernikahan atau sunatan yang ada di kota Solo dan sekitarnya. Pada waktu dulu di saat industri rekaman belum ada, selain melalui pergelaran musik keroncong bernyanyi di acara-acara hajatan juga membuat lagu-lagunya menjadi cepat dikenal oleh masyarakat disekitar kota solo. Gesang juga seringkali keluar kota untuk mengikuti pergelaran musik keroncong yang ada di kota lain. Selain menyanyikan lagu keroncong klasik, Gesang juga menyannyikan lagu-lagu ciptaannya sendiri. Dengan begitu, lagu-lagu keroncong ciptaan Gesang juga didengar dan dikenal oleh para penggemar musik keroncong yang ada di luar kota Solo. Pengalaman pentas di berbagai daerah yang paling sering dilakukan adalah ketika bergabung sejak tahun 1943 dengan perkumpulan sandiwara keliling (tonil) modern pada zaman pendudukan Jepang yaitu ”Bintang Surabaya”. Bersama kelompok tersebut Gesang menyinggahi kota-kota di Jawa seperti Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, Madura dan Bali.
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno (1945-1967) sangat aktif dan gencar dalam melakukan diplomasi luar negeri. Salah bidang yang bisa menjadi andalan Indonesia adalah Sosial Budaya. Dalam diplomasi itu seringkali membawa misi kesenian agar dikenal di dunia. Pada tahun 1963 Gesang juga mengikuti misi kesenian tersebut, negara asing yang disinggahi waktu itu adalah Korea Utara dan Cina. Dari misi kesenian inilah Gesang akhirnya bisa bernyanyi di luar negeri (Sugiyanto, 2003 : 78-79).
Gesang mengakui bahwa ia memang tidak mengerti teori musik yang modern secara benar. Ia hanya menciptakan lagunya dengan seruling yang ia punyai. Gesang pernah belajar menggunakan alat musik seruling semenjak ia berada di sekolah dasarnya dulu, yaitu sekolah yang bernama Ongko Loro. Sampai kini seruling itu masih disimpannya dengan baik, karena dari seruling itu ia menciptakan lagu-lagunya.
Karir bernyanyi dan mencipta lagunya masih terus berlanjut sampai di usianya yang telah tua. Dalam hal bernyanyi dia masih terus melakukannya dalam setiap acara tertentu, khususnya acara pergelaran musik keroncong. Kini Gesang telah menyatakan diri sebagai mantan dalam hal bernyanyi, namun di usia yang telah tua tak menyurutkan semangatnya untuk mau menghadiri berbagai undangan pergelaran musik keroncong yang ada jika keadaan badannya masih memungkinkan.
Kiprah Gesang dalam berkarya di bidang seni musik keroncong dan langgam jawa sudah banyak mendapat pengakuan baik lingkup lokal, nasional bahkan internasional. Salah satu penghargaan yang nyata diberikan oleh bangsa Jepang berupa museum Gesang yang didalamnya terdapat sanggar Gesang pada tahun 1992. Sanggar Gesang yang terletak di Taman Satwa Taru Jurug dapat dijadikan media untuk mengekspresikan karya-karya seni keroncong dan langgam jawa sehingga lebih mempopulerkan dan memasyarakatkan seni keroncong dan langgam jawa (profil gesang, website Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kota Surakarta).
Sampai sekarang sudah empat kali PT GMP memproduksi album khusus Gesang, yaitu pada 1982, 1988, 1999, dan 2002. Dari 14 lagu dalam rekaman compact disk (CD), enam di antaranya merupakan lagu yang belum pernah direkam. Yaitu Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949), dan Swasana Desa (1939). Selebihnya lagu-lagu lama karya Gesang, yang temanya menyinggung usia Gesang yang sudah senja seperti Sebelum Aku Mati, Pamitan, dan tentu saja Bengawan Solo. Ini memang lebih sebagai album penghormatan atas sebuah legenda daripada sebuah produk yang tak punya selling point. Dalam album ini suara Gesang agak "tertolong" karena didampingi penyanyi-penyanyi kondang: Sundari Soekotjo, Tuty Tri Sedya, Asti Dewi, Waldjinah (www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/g/gesang/index.shtml,tanpa last update, diakses pada tanggal 20 April 2008).
Selama hidupnya Gesang telah menerima berbagai penghargaan baik dari pemerintah Republik Indonesia, swasta ataupun dari instansi tertentu. Penghargaan tersebut bisa berwujud barang, uang, ataupun piagam. Departemen Pertahanan II yang waktu itu dipimpin oleh Letnan Jenderal TNI Widodo, pada tanggal 4 April 1976 ketika mempunyai program Safari Budaya ke berbagai daerah demi melanggengkan Ketahanan Nasional Indonesia telah memberikan Piagam penghargaan. Gesang dinilai telah mengabdi kepada bidang seni suara dalam rangka memperkuat ketahanan Nasional.
Kepresidenan RI lewat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Sjarif Thajeb, telah memberikan piagam hadiah seni kepada Gesang sebagai penghargaan dari pemrintah atas jasanya sebagai komponis Indonesia pada tanggal 2 Mei 1977. Presiden RI, Soeharto dulu juga memberikan tanda kehormatan Bintang Budaya Parama Dharma sebagai penghargaan atas jasa-jasanya yang besar terhadap negara dan bangsa Indonesia dalam meningkatkan, memajukan kebudayaan nasional.
Pemerintah Daerah tingkat Propinsi dan Kotamadya yang menaungi tempat tinggal Gesang juga turut memberikan penghargaan. Gubernur Soepardjo Roestam memberikan hadiah sebuah rumah tipe 36 di Perumahan Nasional, Jalan Nusa Indah Palur, Karanganyar. Gubernur Jawa Tengah selanjutnya, Muhamad Ismail pada tahun 1990 juga memberikan penghargaan Budaya Bhakti Upapradana sebagai penghargaan atas kepeloporan dan prestasinya dalam musik keroncong.
Pada tanggal 16 Juni 1973 Gesang juga mendapat Anugerah Bintang Warga Kota Teladan oleh Walikota Koesnandar selaku Kepala Daerah Kotamadya Surakarta. Penghargaan tersebut diberikan kepada Gesang karena pengabdiannya dalam bidang seni dan budaya dan turut mengharumkan nama kota Surakarta. Selanjutnya Departemen Penerangan RI lewat Direktorat Televisi Republik Indonesia stasiun Yogyakarta telah merekam dan mengetengahkan Gesang pada acara ”Profil Budayawan”. Televisi Pendidikan Indonesia juga memberikan penghargaan pada tanggal 26 Januari 1994 kepada Gesang atas kesediaannya bekerja sama dalam acara ”Bahana Suara Pelajar”. Lembaga Internasional pada tanggal 25 Oktober 1978 juga turut memberikan penghargaan. OISCA INTERNATIONAL lewat ketuanya, Miss Yosiko Y. Nakano atas jasanya mencipta lagu ”Bengawan Solo”.
Di rumahnya tepatnya di ruang tamu, sekeliling temboknya dipenuhi dengan piagam penghargaan dari pemerintah dan lembaga-lembaga swasta plus foto-foto Gesang bersama pejabat dan teman-teman lamanya. Bahkan ada foto Gesang dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Gubernur Jawa Tengah, Mardiyanto. Juga tak ketinggalan foto Gesang dengan pencipta lagu Koesbini, yang diakuinya sebagai mentor. Selain itu, musisi dan pengusaha Jaya Suprana sebagai pimpinan Museum Rekor Indonesia (Muri), pernah memberikan kado piagam penghargaan kepada Gesang sebagai Maestro dalam dunia musik keroncong. Sang Maestro dinilai sebagai komponis yang lagu-lagunya paling banyak direkam dan dinyanyikan.
Ruang tamu itu menjadi salah satu tempat yang menyita perhatian saat berkunjung ke rumah Gesang di Jalan Bedaya No 5, RT 01 RW III, Kampung/Kelurahan Kemlayan, Kecamatan Serengan, Kota Surakarta. Bukan karena sekarang kondisinya sudahebih baik setelah dibangun lima tahun lalu. Namun di sana ada puluhan piagam penghargaan yang memenuhi hampir seluruh dinding ruangan.
Antara lain itulah yang menjadi bukti tentang kapasitas maestro musik keroncong dari seorang Gesang Martohartono. Komponis yang tidak saja dikenal di Tanah Air, tetapi juga telah menembus hingga dunia internasional. Banyaknya piagam penghargaan tersebut, rasanya tak perlu diragukan lagi jika bicara siapa sosok Gesang. Dia memang seorang seniman yang telah mendapat banyak pengakuan dari berbagai kalangan.
Dari sebuah artikel yang penulis ambil dari sebuah siuts di internet yang menceritakan tentang wawancara dengan pak Gesang pada saat merayakan Hari Ulang Tahunnya yang ke 90 kemarin (wisnukisawa,gesanghidupbersahaja,http://www.mailarchive.com/idaarimurtiandfriends@yahoogroups.com/msg00489.html, diakses pada tanggal 21 April 2008) beliau berkata, ''Ini saja sebenarnya masih banyak yang tidak ditempel, karena jumlahnya mencapai ratusan,'' katanya kepada Suara Merdeka kemarin. Ratusan piagam? Benar. Di antaranya ada penghargaan Tanda Kehormatan dari Presiden RI (1992), lalu penghargaan sebagai pencipta lagu ''Bengawan Solo'' dari Gubernur Jawa Tengah. Ada lagi penghargaan sebagai insan musik dari berbagai lembaga baik di tanah air maupun dari luar negeri. Nah, di antara penghargaan itu, ada sebuah piagam yang berkesan berbeda. Kertasnya sudah tampak kumal, bahkan telah robek di beberapa bagian. Dalam surat tertanggal 26 April 1950 dengan simbol palang merah itu di atasnya terdapat nama lembaga Komando Tentara Teritorial Kota Surakarta (Staff Civiel). ''Penghargaan ini saya dapatkan setelah saya dibebastugaskan dari anggota PMI (Palang Merah Indonesia) karena ingin kembali ke masyarakat''.
Gesang pernah diundang pada festival salju Sapporo atas undangan himpunan persahabatan Sapporo dengan Indonesia pada 1980 itu, juga telah merekam lagu-lagunya dalam bentuk Compact Disk, masing-masing adalah Seto Ohashi (1988), Tembok Besar (1963), Borobudur (1965), Urung (1970), Pandanwangi (1949) dan Swasana Desa (1939). (Gesang, http://selebriti.kapanlagi.com/gesang/, last update 10 Maret 2007, diakses pada tanggal 10 April 2008).
Berita terakhir di dalam harian Solopos edisi 4 juni 2008 diberitakan bahwa Gesang mendapat penghargaan piala Metronome. Penghargaan ini diberikan kepada seorang seniman musik yang konsisten dalam mengembangkan bidang musik yang ditekuninya, juga lamanya seorang seniman musik itu mengabdi dalam musik ditekuni. Selain Gesang, seorang yang juga mendapatkan piala Metronome itu adalah Adi M S. Yang juga konsisiten di dalam mengembangkan musik simphony.
Dalam wawancara penulis dengan Bapak Gesang di kediamannya, Beliau memiliki harapan kepada kaum muda agar bisa terus bisa melestarikan musik keroncong, karena menurutnya musik keroncong adalah hasil kebudayaan kita sendiri. Keroncong adalah salah satu kekayaan budaya bangsa ini dalam bidang musik yang harus tetap dijaga kelestariannya sampai kapanpun. (diambil dari hasil wawancara dan penelitian penulis mengenai Gesang Martohartono, Juni 2008)

Tidak ada komentar:
Posting Komentar